"Welcome to my Blog"

Selamat datang di Blog saya. Bienvenue sur mon Blog. Willkommen in meinem Blog. Benvenuti nel mio blog. Welcome to my Blog. Bienvenidos a mi blog. Welkom op mijn Blog.
Tampilkan postingan dengan label Perubahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perubahan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Juli 2012

Indonesian Culture Akar Dari Gerakan Perubahan

Wacana gerakan perubahan sering dimaknai secara kental di bidang politik, ekonomi, hukum, dan lembaga-lembaga negara. Padahal, perubahan di bidang-bidang itu dapat berlangsung apabila gerakan perubahan dapat menjiwai roh kebudayaan Indonesia yang telah menjadi akar adab dan peradaban bangsa Indonesia selama ini.

Pola pemikiran kontinental, seperti demokrasi, jangan diambil dan diterapkan mentah-mentah di Indonesia. Sebab, budaya Indonesia ini sejatinya adalah maritim (kelautan), bukan kontinental seperti di Eropa. Dalam budaya maritim, misalnya, kita tidak mengenal individualisme. Sebab bangsa maritim menerjang lautan dengan kebersamaan (kolektivisme).

Contoh lain dari budaya maritim, adalah pemikiran yang terbuka (open minded). Masyarakat maritim, membentuk kota-kota pelabuhan (bandar-bandar). Sebagai Bandar, masyarakat terbuka pada hal-hal yang asing, kedatangan bangsa-bangsa asing untuk berdagang, dan akhirnya bersentuhan dengan budaya-budaya asing. Karena itu, sejatinya Indonesia percaya diri dengan budayanya, tidak takut terhadap hal-hal yang asing. Kita tidak punya sikap Xenophobia.

Demikian pentingnya kebudayaan dalam menuntun seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga keberadaan bangsa sepenuhnya ditentukan oleh budaya. Negara bisa saja gagal, tetapi selama budaya masih hidup dan berkembang maka bangsa akan tetap ada. Tetapi, apabila budaya dibuang dan punah, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang gagal.

Karena itu, gerakan perubahan  jangan hanya berkonsentrasi pada perubahan politik, ekonomi, hukum dan lembaga-lembaga negara, melainkan harus pula menekankan aspek kebudayaan. Penekanan pada kebudayaan akan membuat gerakan perubahan terus hidup dan mengilhami seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia.


Dhenny Farial Pratama, ST
Wakil Ketua Umum - DPP APPI (Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia)
Staff Kelautan dan Masyarakat Pesisir - DPP AMPI

Senin, 09 Juli 2012

Tragedi Kemiskinan di Indonesia

KEMISKINAN punya dampak begitu mengerikan. Tidak hanya bisa memicu manusia menjadi maling demi menyambung hidup, kemiskinan ternyata juga mampu mendorong seseorang bunuh diri untuk mengakhiri hidup. Efek terakhir itulah yang mengharu biru perasaan kita akhir-akhir ini.

Lantaran tak kuasa menahan himpitan ekonomi, Markiah nekat menjemput kematian dengan menceburkan diri ke Sungai Cisadane, Bogor, Rabu (4/7). Tragisnya lagi, janda berusia 30 tahun asal Serang, Banten, itu tidak bunuh diri sendirian.

Ia mengajak buah hatinya berumur tiga tahun, Salman, kembali ke alam baka. Tiga anaknya yang lain ia tinggalkan di dunia fana sebagai yatim piatu.


Menurut Kapolsek Bogor Tengah Ajun Komisaris Victor Gatot Nababan, Markiah bunuh diri diduga karena tak kuat lagi menghadapi deraan kemiskinan. Ia putus asa menjalani hidup yang kian hari kian sulit setelah suaminya meninggal.


Nasib Markiah sungguh memilukan. Ia pun bukan orang pertama yang bunuh diri karena miskin papa. Pada 11 Agustus 2010, Khoir Umi Latifah melakukan hal serupa. Warga Klaten, Jawa Tengah, itu membakar diri bersama dua anaknya.


Kemudian, pada 25 Oktober 2011, Suharta dan putranya tewas setelah gantung diri di Riau. Jauh sebelumnya pada 2007, seorang ibu dan empat anaknya di Malang, Jawa Timur, mengambil jalan pintas dengan menenggak racun potasium. Ia memilih mati. Ia menyerah melawan kemiskinan yang kejam mendera.


Kasus-kasus itu hanyalah sedikit contoh dari banyaknya fakta bunuh diri akibat kemiskinan di negeri ini. Itulah tragedi luar biasa yang menyayat perasaan dan mencabik-cabik kemanusiaan.


Terus terulangnya bunuh diri karena miskin sulit diterima akal sehat di negeri ini yang katanya gemah ripah loh jinawi. Sulit pula dipahami sebab bukankah konstitusi dengan gamblang mengamanatkan fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara?


Padahal, pemerintah selalu membanggakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan. Pada Senin (2/7), Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan warga miskin telah berkurang 890 ribu jiwa. Pada Maret 2011, warga miskin berjumlah 30,1 juta jiwa dan pada Maret 2012 turun 0,53% menjadi 29,13 juta orang.


Pemerintah boleh silau dengan angka-angka itu. Namun, tragedi Markiah merupakan realitas yang musykil dibantah betapa kemiskinan justru makin kuat menjerat rakyat.


Masih berbanggakah pemerintah ketika rakyatnya bunuh diri karena terimpit oleh kemiskinan? Juga kepada anggota DPR yang terhormat, masih punya hatikah Anda menyaksikan rakyat memilih mati lantaran tak tahan lagi menghadapi kesulitan hidup?


Tragedi Markiah merupakan penegasan bahwa kemiskinan telah menjadi monster menakutkan dan perlu langkah nyata untuk memeranginya. Tidak cukup dengan memamerkan data di atas kertas yang sepintas memang indah.


Anekdot orang miskin dilarang sakit atau orang miskin dilarang sekolah karena butuh biaya selangit sudah lama mengemuka. Kita tidak ingin ada anekdot tambahan bahwa orang miskin tidak dilarang bunuh diri.


Negara yang makmur tetapi rakyatnya miskin, kelaparan, dan bodoh karena pejabatnya korup.

Minggu, 06 Mei 2012

Sekularisme

SEKULARISME di kamus bahasa Indonesia artinya paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada agama. Tapi pengertian yang paling populer adalah paham pemisahan antara agama dan negara. Paham ini semakin populer dan semakin sering terucap oleh orang kita sekarang. Demikian juga kata-kata ini semakin menakutkan karena sering dituduh kepada orang-orang yang tidak disenangi.

Bila kita perhatikan secara seksama yang sering menuduh orang lain sekuler, sebenarnya dia sendiri melakukan hal yang sama. Kita ambil contoh, orang-orang yang tidak mau memberi sedekah karena hanya untuk pembangunan jalan atau rumah sakit karena dianggap itu urusan negara, bukan urusan agama. Orang tidak mau peduli dengan ilmu ekonomi atau tidak mau menganalisis perkembangan ekonomi umatnya karena itu masalah duniawi. Dalam aktivitas sehari-hari masih ada yang dianggap sebagai melaksanakan perintah Allah dan ada perintah dari negara.

Sebenarnya kekhawatiran akan terjerumus ke sekularisme itu bagus, cuma sayangnya pengertian sekularisme itu tidak utuh dipahami. Akibatnya mudah menuduh orang sembarangan. Padahal yang lebih penting lagi diperhatikan adalah sekularisme yang telah berkembang dalam kehidupan praktis yang awalnya berkembang di Barat dan sekarang sudah menjalar ke negeri-negeri muslim.

Sejarah terjadinya sekularisasi dalam kehidupan praktis di Barat sebenarnya belum begitu lama. Seperti kenyataan sekarang, selain telah terjadi kekosongan jamaah gereja, telah terjadi pula budaya seks bebas. Sampai tahun 1940-an masyarakat Barat masih menjaga moral yang berstandar agamanya. Gereja-gereja juga masih dipenuhi oleh jamaahnya. Kaum perempuan masih diwajibkan oleh orang tuanya memakai baju longdress. Belum ada yang berpacaran lalu berpeluk-pelukan bahkan berciuman di jalan.

Sejak terjadinya mobilitas masyarakat secara besar-besaran dari desa ke kota-kota terutama sekali untuk kegiatan bisnis dan juga sejumlah generasi muda yang melanjutkan studi ke kota-kota besar mulailah terjadi perubahan besar-besaran pada budaya mereka. Generasi muda yang kurang terdidik agama di desanya dan sampai di kota tidak ada pengawasan orang tua. Terjadilah tindakan-tindakan pergaulan yang tidak terikat dengan norma agama. Awalnya pergaulan bebas itu hanya sekadar keinginan memuaskan pergaulan sesama anak muda saja. Ketika agama dan budaya tidak bicara lagi masalah pergaulan bebas tersebut, lalu diambil peluang oleh para pebisnis menjadi komoditi perdagangan yang menarik. Bahkan selanjutnya budaya seperti itulah yang dibanggakan oleh masyarakat. Sehingga jika sekarang misalnya kita mengkritik mereka mengenai tari telanjang, mereka merasa heran. Karena tidak ada yang janggal menurut mereka. Tari telanjang juga dianggap salah satu seni yang dimiliki oleh manusia.

Demikian juga masalah hubungan laki-laki dan perempuan sebelum menikah. Mereka hampir menganggap itu wajib, karena untuk melihat apakah comfortable atau tidak  pasangannya. Mereka sangat khawatir setelah menikah akan terjadi ketidakcocokan bidang seks diantara mereka. Bahkan setelah menikah mereka masih saling menanyakan di antara teman mereka apakah mereka cukup puas dalam bidang seks dengan pasangannya.

Dalam masalah perkawinan ini sedikit pun tidak ada lagi campur tangan masalah agama, kecuali sebagian kecil saja yang ingin menikah di gereja. Mereka mencari pasangan sendiri dan kemudian berjanji bersama bagaimana mereka sepakati termasuk masalah warisan. Demikian juga dengan keturunan mereka. Kendatipun kita saksikan begitu banyak tokoh-tokoh sukses atau tokoh yang di kagumi, tetapi dibalik kehebatan itu begitu banyak anak muda yang rusak dan telantar karena faktor hubungan orang tua yang tidak terikat dengan norma agama dan budaya lagi.

Kenyataan seperti ini bukan tidak mungkin akan terjadi di negeri kita. Seperti diberitakan oleh surat kabar-surat kabar selama ini berbagai hal negatif telah menimpa para remaja dan anak muda di kota-kota kita, di Indonesia. Mulai dari kurang hormat terhadap orang tua, terhadap guru, ngebut-ngebutan di jalan, tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, cabut sekolah sampai pada terlibat narkoba dan mesum. Peristiwa yang terakhir yang sempat mengejutkan kita semua adalah peristiwa menukar aqidah. Sejumlah generasi muda, mulai dari anak yang masih SMU sampai mahasiswa telah terpengaruh dengan ajaran Millata Abraham yang menurut kajian MUI tergolong ajaran sesat.

Kenyataan seperti ini andaikata tidak diantisipasi segera dengan cara yang permanen akan dapat mengakibatkan kota-kota di Indonesia, akan menjadi kota umat yang sesat dan penuh dekadensi moral. Apa yang dapat kita tunjukkan kalau generasi muda kita terdiri dari orang-orang sesat dan penuh dengan dekadensi moral?

Generasi muda adalah generasi penerus bangsa, generasi yang akan memimpin dunia selanjutnya. Jika kita mampu menanamkan aqidah Agama secara baik yang dapat memperkuat aqidah generasi muda kita, maka kita telah berusaha untuk menjaga generasi yang kuat dan tangguh pendirian. Mereka akan menjadi generasi yang tahan dari gempuran yang datang dari mana pun. Mereka akan menjadi generasi penyelamat umat dari godaan ajaran sesat.



T. Dhenny Farial Pratama, ST
Cementing Engineer  -  COSL Indo
Wakil Ketua Umum  -  DPP APPI
Staff Kelautan & Masyarakat Pesisir  -  DPP AMPI
Mantan Aktifis Mahasiswa  -  Universitas Trisakti, Jakarta

Kamis, 03 Mei 2012

Hiper-realitas Perekonomian Nasional

Dodi Mantra,S.IP, M.Si
(Ka. Departemen Penelitian, Kajian, dan Pengembangan Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia)

SUMBER : Pengurus Pusat Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia (PP APPI)

Ketegangan politik seputar kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu tak ubahnya sebuah drama yang mempertontonkan kepalsuan dan kebohongan.

Drama politik ini baru saja berakhir. Penundaan kenaikan harga BBM jadi adegan penutup yang bahagia bagi semua pihak. Peran protagonis dimainkan dengan sangat apik sehingga berakhir bahagia. DPR berhasil memainkan peran sebagai pejuang kepentingan rakyat dengan dipertahankannya Pasal 7 Ayat (6). Namun, DPR juga tidak memosisikan pemerintah sebagai tokoh antagonis di dalam drama ini. Melalui penambahan Pasal 7 Ayat (6a), mayoritas DPR menyiratkan pesan bahwa pemerintah pun berpihak kepada rakyat karena kenaikan harga BBM diperlukan demi menyelamatkan perekonomian nasional.

Pemerintah bermain tidak kalah apik dalam adu peran dengan DPR. Presiden SBY menyambut positif keputusan DPR yang tetap memberikan ruang dan kewenangan yang sah kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM. Bahkan, ditegaskan, pemerintah akan terus bersama rakyat dalam suka dan duka. Keputusan untuk menaikkan harga BBM hanya akan dilakukan jika tidak ada opsi lain dan sangat diperlukan guna menyelamatkan perekonomian nasional. Meski tidak populer, pemerintah meyakini itu semata-mata untuk kepentingan yang besar, kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Berbahagialah rakyat di negeri ini karena DPR dan pemerintah mendengarkan aspirasi, bekerja, dan mengabdikan diri untuk mereka. Rakyat berada di jantung perekonomian nasional sehingga upaya pemerintah dan DPR dalam menyelamatkan perekonomian nasional adalah untuk kepentingan rakyat.

Kebohongan

Dapat dicermati, inti dari ”peran berpura-pura” (drama) ini adalah tentang penyelamatan perekonomian nasional. Jika memang ini sebuah drama, apa yang disebut perekonomian nasional, di mana dikesankan rakyat berada tepat di jantungnya, pun merupakan sebuah pentas keberpura-puraan yang tentu saja bukanlah representasi dari realitas yang sesungguhnya.

Namun, peliknya permasalahan hari ini menjadikan tampilan yang kemudian kita citrakan sebagai perekonomian nasional bukanlah sekadar hasil dari sebuah pementasan drama, di mana tembok pemisah antara kebohongan dan kenyataan masih berdiri tegak. Sebagaimana Yudi Latif masih dapat melihat perbedaan antara kepalsuan dan kesejatian atau Daoed Joesoef dapat memisahkan khayalan dan realitas dari drama rencana kenaikan harga BBM (Kompas, 3/4/2012).

Apa yang kita citrakan sebagai perekonomian nasional hari ini merupakan sebuah hiper-realitas, sebuah simulacrum raksasa yang benar-benar terlepas dari realitas, yang lahir dari proses simulasi atas realitas yang justru menggantikan yang riil (Oberly, 2003). Jadi, batas pemisah antara kepalsuan dan realitas menjadi lenyap. Dalam medan pemikiran Jean Baudrillard, hiper-realitas berpijak pada simulasi dan simulacra (Baudrillard, 1983). Simulasi tidak terlepas dari proses representasi imajiner atau abstraksi atas realitas. Namun, simulasi berbeda dengan representasi. Representasi, terkait sistem tanda Ferdinand Saussure (1959), merupakan tanda yang selalu merujuk pada realitas sehingga setiap tanda dapat ditukar dengan makna.

Simulasi berjalan lewat model-model realitas tanpa asal atau tanpa merujuk pada realitas. Jika representasi berpijak pada prinsip kesepadanan antara tanda dan realitas, sebaliknya simulasi berangkat dari utopia prinsip kesepadanan ini sehingga menghilangkan setiap rujukan realitas dari tanda (Baudrillard, 1983).

Reproduksi terus-menerus dari simulacra sehingga simulasi atas realitas dapat menggantikan yang riil menciptakan sebuah simulacrum raksasa yang sepenuhnya lepas dari realitas, yaitu hiper-realitas (Oberly, 2003). Jadi, lenyaplah pemisahan antara yang imajiner dan yang riil di dalam hiper-realitas.

Dalam pemikiran Baudrillard, simulasi juga tidak hanya sekadar bentuk kepura-puraan (dissimulation). Dalam kepura-puraan, realitas tetap utuh, tetap terdapat perbedaan jelas antara kepalsuan dan realitas. Sebaliknya, simulasi menghilangkan perbedaan antara ”benar” dan ”salah”, antara ”yang riil” dan ”yang imajiner” (Baudrillard, 1983). Sebagai sebuah hiper-realitas, perekonomian nasional merupakan sebuah simulacrum raksasa yang direproduksi terus-menerus melalui simulasi pertumbuhan.

Sebagai sebuah representasi, pertumbuhan berawal sebagai sebuah model yang merefleksikan realitas perekonomian. Namun, terciptanya pertumbuhan sebagai sebuah model realitas justru menyelubungi dan mengaburkan realitas perekonomian itu sendiri sampai akhirnya pertumbuhan menjadi simulasi realitas yang menggantikan yang riil.
Dengan kata lain, simulasi pertumbuhan telah menyerap realitas perekonomian.

Lepas dari Realitas

Angka pertumbuhan yang lahir dari hasil simulasi pertumbuhan menjadi sebuah simulacrum murni yang tidak lagi merujuk pada realitas, bahkan telah sepenuhnya lepas dari realitas. Namun, ketika angka pertumbuhan menjadi sebuah simulacrum, angka ini menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. UU APBN, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia, laporan Bank Indonesia, laporan BPS, media massa, serta bahan bacaan dan ruang-ruang kuliah adalah tempat di mana simulasi pertumbuhan dijalankan sehingga memproduksi simulacra yang menopang hiperrealitas perekonomian nasional.

Dapat kita cermati bagaimana di dalam hiper-realitas perekonomian nasional angka pertumbuhan menjadi sesuatu yang sangat nyata, bahkan lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Pada Pasal 43 Ayat (1) UU APBN 2012 (yang tentu saja bukan menjadi fokus revisi dari UU APBN Perubahan), ”penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi…,” dijadikan sebagai tanda bagi keadaan darurat perekonomian nasional.

Di sinilah terlihat bagaimana perekonomian nasional sebagai sebuah hiper-realitas menjadi sistem pertukaran tanda dengan tanda, bukan dengan makna. Hiper-realitas merupakan sebuah sistem pertukaran tanda-tanda yang kosong yang tidak memiliki rujukan (referensi) pada realitas. ”Keadaan darurat” merupakan sebuah tanda yang merujuk pada tanda lain, yaitu ”proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi”.

Dalam RKP 2012, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 6,5-6,9 persen, jumlah penduduk miskin diperkirakan turun menjadi 10,5-11,5 persen dan pengangguran terbuka menjadi 6,4-6,6 persen. Di media massa, pemerintah menyatakan revisi target pertumbuhan 2012 dari 6,7 menjadi 6,5 persen (penurunan sebesar 0,2 persen) berdasarkan APBN Perubahan 2012, menyebabkan target penciptaan lapangan kerja 90.000 tidak tercapai. Demikianlah hiper-realitas perekonomian nasional disusun atas dasar pertukaran tanda dengan tanda. Tanda angka pertumbuhan ditukar dengan tanda juga, yaitu angka kemiskinan dan pengangguran. Namun, tanda ini tetap menjadi riil, bahkan lebih riil ketimbang realitas.

Harga BBM sendiri merupakan sebuah simulacrum yang lahir dari simulasi. Dalam tulisan A Tony Prasetiantono, ”Minyak dan Kegalauan Rakyat” (Kompas, 5/4/2012), dapat dicermati bagaimana harga BBM merupakan simulacrum yang juga tak terlepas dari pertukaran tanda. Tanda kenaikan harga minyak dunia ditukar dengan tanda peningkatan konsumsi dunia. Kemudian ditukar lagi dengan tanda harga BBM di dalam negeri yang juga ditukar dengan tanda penurunan produksi sekaligus ditukar dengan tanda beban subsidi APBN yang ditukar lagi dengan tanda keberlanjutan fiskal. Bahkan, dalam tulisan itu kenaikan harga BBM pun disimulasikan, dengan waktu terbaik setelah Lebaran terkait tanda relaksasi inflasi.

Bagi Baudrillard, hiper-realitas sendiri merupakan sebuah bentuk baru dari dominasi (Baudrillard, 1981,1994). Perekonomian atas dasar pertukaran tanda dengan tanda telah memicu gejolak politik yang cukup panas di negeri ini. Namun, perlawanan terhadap hiper-realitas bukanlah perkara mudah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan gerakan perlawanan dalam gejolak politik kemarin justru terserap oleh simulasi yang menopang hiper-realitas perekonomian nasional.

Namun, juga tidak berarti hiper-realitas telah menutup semua ruang bagi gerakan perlawanan. Jadi, yang tersisa hanya ada satu bentuk perlawanan pada hiper-realitas sebagaimana dikedepankan Baudrillard, yaitu penolakan untuk berpartisipasi dalam media dan politik. Perlawanan terhadap hiper-realitas tetap dapat dilakukan. Dalam kondisi ini, penting bagi gerakan perlawanan untuk melakukan pembongkaran terhadap simulasi dan simulacra yang menopang hiper-realitas sekaligus berupaya untuk tidak terserap secara tidak sadar ke dalam hiper-realitas. Meski di dalam sebuah hiper-realitas batas pemisah antara yang riil dan imajiner semakin hilang, tetap yang riil tak akan pernah terserap sepenuhnya oleh simulasi. Perlawanan dengan membongkar dan menampilkan retakan di dalam hiper-realitas dapat menjadi agenda penting bagi gerakan hari ini.


T. Dhenny Farial Pratama, ST
Cementing Engineer  -  COSL Indo
Wakil Ketua Umum  -  DPP APPI
Staff Kelautan & Masyarakat Pesisir  -  DPP AMPI
Mantan Aktifis Mahasiswa  -  Universitas Trisakti, Jakarta

Sabtu, 12 Desember 2009

Gerakan Mahasiswa Kurang Diminati, Tanya Kenapa?

Mahasiswa di berbagai kampus di Jakarta dan di kota lain di Indonesia semakin tidak berminat berkecimpung dalam gerakan atau organisasi mahasiswa. Kondisi tersebut membuat para aktivis mahasiswa gelisah.

Mahasiswa sering menganggap dirinya mewakili masyarakat. Padahal, mereka sebenarnya hanya mewakili diri sendiri. ”Saat mahasiswa berunjuk rasa, mereka berpendapat sedang menggerakkan people power. Padahal, saat mereka berunjuk rasa, tidak ada masyarakat yang mendukung.

Jelas, akibat tidak adanya dukungan dari masyarakat, mahasiswa menjadi anarkis pada saat melakukan aksi. Mahasiswa yang melakukan tindakan anarkis saat berunjuk rasa menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut frustrasi. Para mahasiswa yang anarkis itu marah pada diri sendiri. Mereka jadi berpikir tidak rasional dan tidak bisa menerima kenyataan.

Solusinya adalah aktivis mahasiswa tidak perlu merasa kecil apabila dalam aksinya tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat dan teman-teman mahasiswa. Mahasiswa tidak perlu merasa kecil ketika berbicara atas nama dirinya. yang penting mahasiswa tetap bersuara kritis dan mempunyai pendapat. Mahasiswa juga tidak boleh menyerah ketika menemui hambatan dalam beraktivitas, misalnya tidak ada dukungan dari pihak universitas atau fakultas.

Mahasiswa harus menyadari posisinya sebagai kelompok pilihan sebab jumlah mahasiswa di antara penduduk Indonesia sangat kecil. Apabila mahasiswa tidak menyadari posisinya, berarti mahasiswa telah mengkhianati rekan-rekannya yang tidak mempunyai kesempatan menjadi mahasiswa. Mahasiswa harus melatih empatinya terhadap lingkungan sekitarnya. Mahasiswa, harus diakui, kadang tidak paham dengan inti persoalan yang diperjuangkan dalam berunjuk rasa.

Banyak hal-hal yang bisa diperbuat untuk Bangsa yang besar ini. Bukan hanya aksi Demontrasi yang berujung dengan anarkisme, tapi masih banyak aksi-aksi yang bisa kita lakukan sebagai mahasiswa untuk dapat kembali menciptakan respect yang bagus di masyarakat.

Semoga Bangsa ini akan terus menjadi bangsa yang besar di tangan-tangan generasi-generasi kader penerus bangsa seperti saya, anda serta adik-adik kita.

Salam Mahasiswa, Hidup Mahasiswa,Hidup Rakyat.
Jayalah dan Bersatulah Indonesia ku.