Dodi Mantra,S.IP, M.Si
(Ka. Departemen Penelitian, Kajian, dan Pengembangan Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia)
SUMBER : Pengurus Pusat Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia (PP APPI)

Ketegangan
politik seputar kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu tak ubahnya
sebuah drama yang mempertontonkan kepalsuan dan kebohongan.
Drama
politik ini baru saja berakhir. Penundaan kenaikan harga BBM jadi
adegan penutup yang bahagia bagi semua pihak. Peran protagonis dimainkan
dengan sangat apik sehingga berakhir bahagia. DPR berhasil memainkan
peran sebagai pejuang kepentingan rakyat dengan dipertahankannya Pasal 7
Ayat (6). Namun, DPR juga tidak memosisikan pemerintah sebagai tokoh
antagonis di dalam drama ini. Melalui penambahan Pasal 7 Ayat (6a),
mayoritas DPR menyiratkan pesan bahwa pemerintah pun berpihak kepada
rakyat karena kenaikan harga BBM diperlukan demi menyelamatkan
perekonomian nasional.
Pemerintah bermain tidak kalah apik
dalam adu peran dengan DPR. Presiden SBY menyambut positif keputusan
DPR yang tetap memberikan ruang dan kewenangan yang sah kepada
pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM. Bahkan, ditegaskan, pemerintah
akan terus bersama rakyat dalam suka dan duka. Keputusan untuk menaikkan
harga BBM hanya akan dilakukan jika tidak ada opsi lain dan sangat
diperlukan guna menyelamatkan perekonomian nasional. Meski tidak
populer, pemerintah meyakini itu semata-mata untuk kepentingan yang
besar, kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Berbahagialah
rakyat di negeri ini karena DPR dan pemerintah mendengarkan aspirasi,
bekerja, dan mengabdikan diri untuk mereka. Rakyat berada di jantung
perekonomian nasional sehingga upaya pemerintah dan DPR dalam
menyelamatkan perekonomian nasional adalah untuk kepentingan rakyat.
Kebohongan
Dapat
dicermati, inti dari ”peran berpura-pura” (drama) ini adalah tentang
penyelamatan perekonomian nasional. Jika memang ini sebuah drama, apa
yang disebut perekonomian nasional, di mana dikesankan rakyat berada
tepat di jantungnya, pun merupakan sebuah pentas keberpura-puraan yang
tentu saja bukanlah representasi dari realitas yang sesungguhnya.
Namun,
peliknya permasalahan hari ini menjadikan tampilan yang kemudian kita
citrakan sebagai perekonomian nasional bukanlah sekadar hasil dari
sebuah pementasan drama, di mana tembok pemisah antara kebohongan dan
kenyataan masih berdiri tegak. Sebagaimana Yudi Latif masih dapat
melihat perbedaan antara kepalsuan dan kesejatian atau Daoed Joesoef
dapat memisahkan khayalan dan realitas dari drama rencana kenaikan harga
BBM (Kompas, 3/4/2012).
Apa yang kita citrakan sebagai perekonomian nasional hari ini merupakan sebuah hiper-realitas, sebuah
simulacrum raksasa
yang benar-benar terlepas dari realitas, yang lahir dari proses
simulasi atas realitas yang justru menggantikan yang riil (Oberly,
2003). Jadi, batas pemisah antara kepalsuan dan realitas menjadi lenyap.
Dalam medan pemikiran Jean Baudrillard, hiper-realitas berpijak pada
simulasi dan simulacra (Baudrillard, 1983). Simulasi tidak terlepas dari
proses representasi imajiner atau abstraksi atas realitas. Namun,
simulasi berbeda dengan representasi. Representasi, terkait sistem tanda
Ferdinand Saussure (1959), merupakan tanda yang selalu merujuk pada
realitas sehingga setiap tanda dapat ditukar dengan makna.
Simulasi
berjalan lewat model-model realitas tanpa asal atau tanpa merujuk pada
realitas. Jika representasi berpijak pada prinsip kesepadanan antara
tanda dan realitas, sebaliknya simulasi berangkat dari utopia prinsip
kesepadanan ini sehingga menghilangkan setiap rujukan realitas dari
tanda (Baudrillard, 1983).
Reproduksi terus-menerus dari simulacra sehingga simulasi atas realitas dapat menggantikan yang riil menciptakan sebuah
simulacrum raksasa
yang sepenuhnya lepas dari realitas, yaitu hiper-realitas (Oberly,
2003). Jadi, lenyaplah pemisahan antara yang imajiner dan yang riil di
dalam hiper-realitas.
Dalam pemikiran Baudrillard, simulasi juga tidak hanya sekadar bentuk kepura-puraan (
dissimulation).
Dalam kepura-puraan, realitas tetap utuh, tetap terdapat perbedaan
jelas antara kepalsuan dan realitas. Sebaliknya, simulasi menghilangkan
perbedaan antara ”benar” dan ”salah”, antara ”yang riil” dan ”yang
imajiner” (Baudrillard, 1983). Sebagai sebuah hiper-realitas,
perekonomian nasional merupakan sebuah simulacrum raksasa yang
direproduksi terus-menerus melalui simulasi pertumbuhan.
Sebagai
sebuah representasi, pertumbuhan berawal sebagai sebuah model yang
merefleksikan realitas perekonomian. Namun, terciptanya pertumbuhan
sebagai sebuah model realitas justru menyelubungi dan mengaburkan
realitas perekonomian itu sendiri sampai akhirnya pertumbuhan menjadi
simulasi realitas yang menggantikan yang riil.
Dengan kata lain, simulasi pertumbuhan telah menyerap realitas perekonomian.
Lepas dari Realitas
Angka
pertumbuhan yang lahir dari hasil simulasi pertumbuhan menjadi sebuah
simulacrum murni yang tidak lagi merujuk pada realitas, bahkan telah
sepenuhnya lepas dari realitas. Namun, ketika angka pertumbuhan menjadi
sebuah simulacrum, angka ini menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu
sendiri. UU APBN, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Indonesia, laporan Bank Indonesia, laporan BPS, media massa, serta bahan
bacaan dan ruang-ruang kuliah adalah tempat di mana simulasi
pertumbuhan dijalankan sehingga memproduksi simulacra yang menopang
hiperrealitas perekonomian nasional.
Dapat kita cermati
bagaimana di dalam hiper-realitas perekonomian nasional angka
pertumbuhan menjadi sesuatu yang sangat nyata, bahkan lebih nyata
daripada kenyataan itu sendiri. Pada Pasal 43 Ayat (1) UU APBN 2012
(yang tentu saja bukan menjadi fokus revisi dari UU APBN Perubahan), ”
penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi…,” dijadikan sebagai tanda bagi keadaan darurat perekonomian nasional.
Di
sinilah terlihat bagaimana perekonomian nasional sebagai sebuah
hiper-realitas menjadi sistem pertukaran tanda dengan tanda, bukan
dengan makna. Hiper-realitas merupakan sebuah sistem pertukaran
tanda-tanda yang kosong yang tidak memiliki rujukan (referensi) pada
realitas. ”Keadaan darurat” merupakan sebuah tanda yang merujuk pada
tanda lain, yaitu ”
proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi”.
Dalam
RKP 2012, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 6,5-6,9 persen, jumlah
penduduk miskin diperkirakan turun menjadi 10,5-11,5 persen dan
pengangguran terbuka menjadi 6,4-6,6 persen. Di media massa, pemerintah
menyatakan revisi target pertumbuhan 2012 dari 6,7 menjadi 6,5 persen
(penurunan sebesar 0,2 persen) berdasarkan APBN Perubahan 2012,
menyebabkan target penciptaan lapangan kerja 90.000 tidak tercapai.
Demikianlah hiper-realitas perekonomian nasional disusun atas dasar
pertukaran tanda dengan tanda. Tanda angka pertumbuhan ditukar dengan
tanda juga, yaitu angka kemiskinan dan pengangguran. Namun, tanda ini
tetap menjadi riil, bahkan lebih riil ketimbang realitas.
Harga BBM sendiri merupakan sebuah simulacrum yang lahir dari simulasi. Dalam tulisan A Tony Prasetiantono, ”
Minyak dan Kegalauan Rakyat”
(Kompas, 5/4/2012), dapat dicermati bagaimana harga BBM merupakan
simulacrum yang juga tak terlepas dari pertukaran tanda. Tanda kenaikan
harga minyak dunia ditukar dengan tanda peningkatan konsumsi dunia.
Kemudian ditukar lagi dengan tanda harga BBM di dalam negeri yang juga
ditukar dengan tanda penurunan produksi sekaligus ditukar dengan tanda
beban subsidi APBN yang ditukar lagi dengan tanda keberlanjutan fiskal.
Bahkan, dalam tulisan itu kenaikan harga BBM pun disimulasikan, dengan
waktu terbaik setelah Lebaran terkait tanda relaksasi inflasi.
Bagi
Baudrillard, hiper-realitas sendiri merupakan sebuah bentuk baru dari
dominasi (Baudrillard, 1981,1994). Perekonomian atas dasar pertukaran
tanda dengan tanda telah memicu gejolak politik yang cukup panas di
negeri ini. Namun, perlawanan terhadap hiper-realitas bukanlah perkara
mudah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan gerakan perlawanan dalam
gejolak politik kemarin justru terserap oleh simulasi yang menopang
hiper-realitas perekonomian nasional.
Namun, juga tidak
berarti hiper-realitas telah menutup semua ruang bagi gerakan
perlawanan. Jadi, yang tersisa hanya ada satu bentuk perlawanan pada
hiper-realitas sebagaimana dikedepankan Baudrillard, yaitu penolakan
untuk berpartisipasi dalam media dan politik. Perlawanan terhadap
hiper-realitas tetap dapat dilakukan. Dalam kondisi ini, penting bagi
gerakan perlawanan untuk melakukan pembongkaran terhadap simulasi dan
simulacra yang menopang hiper-realitas sekaligus berupaya untuk tidak
terserap secara tidak sadar ke dalam hiper-realitas. Meski di dalam
sebuah hiper-realitas batas pemisah antara yang riil dan imajiner
semakin hilang, tetap yang riil tak akan pernah terserap sepenuhnya oleh
simulasi. Perlawanan dengan membongkar dan menampilkan retakan di dalam
hiper-realitas dapat menjadi agenda penting bagi gerakan hari ini.
T. Dhenny Farial Pratama, ST
Cementing Engineer - COSL Indo
Wakil Ketua Umum - DPP APPI
Staff Kelautan & Masyarakat Pesisir - DPP AMPI
Mantan Aktifis Mahasiswa - Universitas Trisakti, Jakarta