KEMISKINAN punya dampak begitu mengerikan. Tidak hanya bisa memicu
manusia menjadi maling demi menyambung hidup, kemiskinan ternyata juga
mampu mendorong seseorang bunuh diri untuk mengakhiri hidup. Efek
terakhir itulah yang mengharu biru perasaan kita akhir-akhir ini.
Lantaran tak kuasa menahan himpitan ekonomi, Markiah nekat menjemput kematian dengan menceburkan diri ke Sungai Cisadane, Bogor, Rabu (4/7). Tragisnya lagi, janda berusia 30 tahun asal Serang, Banten, itu tidak bunuh diri sendirian.
Ia mengajak buah hatinya berumur tiga tahun, Salman, kembali ke alam baka. Tiga anaknya yang lain ia tinggalkan di dunia fana sebagai yatim piatu.
Menurut Kapolsek Bogor Tengah Ajun Komisaris Victor Gatot Nababan, Markiah bunuh diri diduga karena tak kuat lagi menghadapi deraan kemiskinan. Ia putus asa menjalani hidup yang kian hari kian sulit setelah suaminya meninggal.
Nasib Markiah sungguh memilukan. Ia pun bukan orang pertama yang bunuh diri karena miskin papa. Pada 11 Agustus 2010, Khoir Umi Latifah melakukan hal serupa. Warga Klaten, Jawa Tengah, itu membakar diri bersama dua anaknya.
Kemudian, pada 25 Oktober 2011, Suharta dan putranya tewas setelah gantung diri di Riau. Jauh sebelumnya pada 2007, seorang ibu dan empat anaknya di Malang, Jawa Timur, mengambil jalan pintas dengan menenggak racun potasium. Ia memilih mati. Ia menyerah melawan kemiskinan yang kejam mendera.
Kasus-kasus itu hanyalah sedikit contoh dari banyaknya fakta bunuh diri akibat kemiskinan di negeri ini. Itulah tragedi luar biasa yang menyayat perasaan dan mencabik-cabik kemanusiaan.
Terus terulangnya bunuh diri karena miskin sulit diterima akal sehat di negeri ini yang katanya gemah ripah loh jinawi. Sulit pula dipahami sebab bukankah konstitusi dengan gamblang mengamanatkan fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara?
Padahal, pemerintah selalu membanggakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan. Pada Senin (2/7), Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan warga miskin telah berkurang 890 ribu jiwa. Pada Maret 2011, warga miskin berjumlah 30,1 juta jiwa dan pada Maret 2012 turun 0,53% menjadi 29,13 juta orang.
Pemerintah boleh silau dengan angka-angka itu. Namun, tragedi Markiah merupakan realitas yang musykil dibantah betapa kemiskinan justru makin kuat menjerat rakyat.
Masih berbanggakah pemerintah ketika rakyatnya bunuh diri karena terimpit oleh kemiskinan? Juga kepada anggota DPR yang terhormat, masih punya hatikah Anda menyaksikan rakyat memilih mati lantaran tak tahan lagi menghadapi kesulitan hidup?
Tragedi Markiah merupakan penegasan bahwa kemiskinan telah menjadi monster menakutkan dan perlu langkah nyata untuk memeranginya. Tidak cukup dengan memamerkan data di atas kertas yang sepintas memang indah.
Anekdot orang miskin dilarang sakit atau orang miskin dilarang sekolah karena butuh biaya selangit sudah lama mengemuka. Kita tidak ingin ada anekdot tambahan bahwa orang miskin tidak dilarang bunuh diri.
Negara yang makmur tetapi rakyatnya miskin, kelaparan, dan bodoh karena pejabatnya korup.
Lantaran tak kuasa menahan himpitan ekonomi, Markiah nekat menjemput kematian dengan menceburkan diri ke Sungai Cisadane, Bogor, Rabu (4/7). Tragisnya lagi, janda berusia 30 tahun asal Serang, Banten, itu tidak bunuh diri sendirian.
Ia mengajak buah hatinya berumur tiga tahun, Salman, kembali ke alam baka. Tiga anaknya yang lain ia tinggalkan di dunia fana sebagai yatim piatu.
Menurut Kapolsek Bogor Tengah Ajun Komisaris Victor Gatot Nababan, Markiah bunuh diri diduga karena tak kuat lagi menghadapi deraan kemiskinan. Ia putus asa menjalani hidup yang kian hari kian sulit setelah suaminya meninggal.
Nasib Markiah sungguh memilukan. Ia pun bukan orang pertama yang bunuh diri karena miskin papa. Pada 11 Agustus 2010, Khoir Umi Latifah melakukan hal serupa. Warga Klaten, Jawa Tengah, itu membakar diri bersama dua anaknya.
Kemudian, pada 25 Oktober 2011, Suharta dan putranya tewas setelah gantung diri di Riau. Jauh sebelumnya pada 2007, seorang ibu dan empat anaknya di Malang, Jawa Timur, mengambil jalan pintas dengan menenggak racun potasium. Ia memilih mati. Ia menyerah melawan kemiskinan yang kejam mendera.
Kasus-kasus itu hanyalah sedikit contoh dari banyaknya fakta bunuh diri akibat kemiskinan di negeri ini. Itulah tragedi luar biasa yang menyayat perasaan dan mencabik-cabik kemanusiaan.
Terus terulangnya bunuh diri karena miskin sulit diterima akal sehat di negeri ini yang katanya gemah ripah loh jinawi. Sulit pula dipahami sebab bukankah konstitusi dengan gamblang mengamanatkan fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara?
Padahal, pemerintah selalu membanggakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan. Pada Senin (2/7), Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan warga miskin telah berkurang 890 ribu jiwa. Pada Maret 2011, warga miskin berjumlah 30,1 juta jiwa dan pada Maret 2012 turun 0,53% menjadi 29,13 juta orang.
Pemerintah boleh silau dengan angka-angka itu. Namun, tragedi Markiah merupakan realitas yang musykil dibantah betapa kemiskinan justru makin kuat menjerat rakyat.
Masih berbanggakah pemerintah ketika rakyatnya bunuh diri karena terimpit oleh kemiskinan? Juga kepada anggota DPR yang terhormat, masih punya hatikah Anda menyaksikan rakyat memilih mati lantaran tak tahan lagi menghadapi kesulitan hidup?
Tragedi Markiah merupakan penegasan bahwa kemiskinan telah menjadi monster menakutkan dan perlu langkah nyata untuk memeranginya. Tidak cukup dengan memamerkan data di atas kertas yang sepintas memang indah.
Anekdot orang miskin dilarang sakit atau orang miskin dilarang sekolah karena butuh biaya selangit sudah lama mengemuka. Kita tidak ingin ada anekdot tambahan bahwa orang miskin tidak dilarang bunuh diri.
Negara yang makmur tetapi rakyatnya miskin, kelaparan, dan bodoh karena pejabatnya korup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar