"Welcome to my Blog"

Selamat datang di Blog saya. Bienvenue sur mon Blog. Willkommen in meinem Blog. Benvenuti nel mio blog. Welcome to my Blog. Bienvenidos a mi blog. Welkom op mijn Blog.

Jumat, 18 Mei 2012

Laksamana Malahayati - Perempuan Ksatria Negeri

MEMBICARAKAN perempuan hebat, ada sedikit cerita tentang sosok perempuan lain yang berbeda generasi dari RA Kartini. Salah satu pahlawan perempuan ini jarang disebut namanya. pahlawan yang tidak pernah diungkit sejarahnya.

Laksamana perempuan pertama di dunia. Petarung garis depan. Pemimpin laskar Inong Balee yang disegani musuh dan kawan. Dialah Laksamana Malahayati.

Kisah Laksamana Malahayati walaupun tidak banyak, semua bercerita tentang kepahlawanannya. Wanita ini merupakan wanita pertama di dunia yang pernah menjadi seorang laksamana. Ia lahir pada masa kejayaan Aceh, tepatnya pada akhir abad ke-XV.

Berdasarkan bukti sejarah (manuskrip) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari keluarga bangsawan Aceh. Belum ditemukan catatan sejarah secara pasti yang menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematiannya. Diperkirakan, masa hidupnya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.

Putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.

Jika dilihat dari silsilah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan keturunan darah biru atau keluarga bangsawan keraton. Ayah dan kakeknya pernah menjadi laksamana angkatan laut. Jiwa bahari yang dimiliki ayah dan kakeknya tersebut kelak berpengaruh besar terhadap kepribadiannya. Meski sebagai seorang wanita, ia tetap ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya tersebut.

Kiprah Laksamana Malahayati dimulai pada saat dibentuk pasukan yang prajuritnya terdiri dari para janda yang kemudian dikenal dengan nama pasukan Inong Balee, Malahayati adalah panglimanya (suami Malahayati sendiri gugur pada pertempuran melawan Portugis).

Kabarnya, pembentukan Inong Balee sendiri adalah hasil buah pikiran Malahayati. Malahayati juga membangun benteng bersama pasukannya dan benteng tersebut dinamai Benteng Inong Balee.

Karir Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin jaman itu, Laksamana Malahayati turut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugis dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka.

Di bawah kepemimpinan Malahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang besar dengan armada yang terdiri dari ratusan kapal perang. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman yang terkenal berangasan, kali ini ketemu batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang ditawan dan Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599.

Selain armada Belanda, Laksamana Malahayati juga berhasil menggebuk armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai. Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.

Ketika Negara-negara maju berkoar masalah kesetaraan gender terutama terhadap Negara berkembang dewasa ini, wilayah nusantara telah lama mempunyai pahlawan gender yang luar biasa. Laksamana perang wanita pertama di dunia.

Nama Malahayati saat ini terserak di mana-mana, sebagai nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi dan tentu saja nama kapal perang. KRI Malahayati, satu dari tiga fregat berpeluru kendali MM-38 Exocet kelas Fatahillah.

Bahkan lukisannya diabadikan di museum kapal selam surabaya. di Pun demikian, entah kenapa tak banyak yang mengenal namanya.


Created :
T. Dhenny Farial Pratama, ST
 

Selasa, 15 Mei 2012

Cut Nyak Dien - Inspirasi Wanita Aceh

Provinsi Aceh merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.

Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.

Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.

Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda. 

Pada 29 Juni 1878 Ibrahim Lamnga tewas di pada pertempuran di Gle Tarum  yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah. Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda. 

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Pernikahan mereka juga dikarunuai anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang 

Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya. 

Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.

Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia,  
“Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).

Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.

Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.

Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.

Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.

DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.

Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.

Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.

Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.



T. Dhenny Farial Pratama, ST
Putra Asli Aceh
Merindukan Tanah Kelahiran

Senin, 14 Mei 2012

Pemuda Indonesia dan Bahasa

“Kami putra putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” (Petikan: Sumpah Pemuda)

BAHASA adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengindentifikasikan diri. Keraf (1994:1) memberikan pengertian bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Maka kemudian kita mengenal bahasa sebagai lambang atau identitas suatu bangsa. Karena boleh dikatakan hanya bahasalah yang bisa menandai seseorang berasal dari bangsa mana, negara mana, suku apa, bahkan hingga puak (kaum) apa, dan inilah juga yang menggolong-golongkan mereka dalam bangsa-bangsa tertentu.

Di Indonesia telah ditetapkan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Sebuah bahasa dari rumpun Melayu yang kemudian mengalami banyak sekali proses sehingga membentuk kebakuan-kebakuan baru. Proses adopsi, transliterasi, dan berbagai proses lainnya telah membentuk bahasa Indonesia sebagai bahasa yang kompleks dan utuh serta memiliki khas tersendiri.

Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia-dalam format baik dan benar-kemudian mengalami pergeseran yang lumayan jauh. Semisal dalam pergaulan sehari-hari, bahasa Indonesia pasar lebih banyak digunakan daripada bahasa Indonesia baku. Ini sebenarnya tidak salah, mengingat betapa perkembangan budaya menjadi penting untuk diikuti dengan meletakkan bahasa pada sifatnya yang elastis.

Betawi dan Sunda mengirimkan bahasa mereka ke tonggak tertinggi penggunaannya dalam pergaulan para muda saat ini. Mereka dibantu oleh pesatnya teknologi informatika yang sebagian besarnya dipegang oleh awak mereka. Kita tak asing lagi mendengar seseorang mengucap “gue, loe, gimana, jelasin” atau kata-kata lain yang seolah sudah baku dalam pergaulan. Bahkan kemudian banyak terlihat kita menertawakan orang-orang-para muda-yang menggunakan kata “saya, kamu, bagaimana, jelaskan” yang pada dasarnya memang baku sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar itu.

Ini juga tak salah, karena bahasa daerah-atau dialeknya-sendiri adalah pendukung bahasa Nasional, bahasa pendukung pembelajaran dan pendidikan di sekolah, dan alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah yang nantinya akan berfungsi juga mendukung perkembangan budaya Nasional. Namun, bila bahasa daerah ini kemudian lebih digdaya di atas bahasa Nasional, tentu saja ini akan berimbas tak baik dari satu sisi. Sebut saja bahasa Alay (gaul) yang penggunanya dari para muda sudah tak terhitung jumlahnya. Bahasa Alay atau disebut juga bahasa pop ini kemudian masuk dalam dunia tulis menulis, dan sebagian besar para muda lebih menyukai membaca ini lalu mengikutinya. Ini akan berbuntut pada penggunaan kaidah-kaidah bahasa yang rentan salah dan atau amburadul.

Belajar dari Restorasi Meiji.
Dalam Restorasi Meiji, sebagai tonggak bersejarah kebangkitan Jepang, proses yang pertama sekali dilakukan adalah menumbuhkan cinta dan bangga pada tanah air dan bahasa Jepang sendiri. Ini dilakukan atas dasar bahwa cinta tanah air dan bahasa adalah kekuatan yang mampu menyatukan bangsa Jepang yang saat itu masih tradisional, terpecah klan, dan tertinggal. Untuk mengawali kebangkitan mereka mulai dari menerbitkan buku-buku yang dan menerjemahkannya dalam bahasa Jepang. Hal ini membantu melejitkan angka pertumbuhan pengetahuan rakyat Jepang hingga mencapai sepuluh persen.

Kita perlu mencontoh Jepang dalam hal ini. Tanpa bermaksud menjadi polisi bahasa yang memagar kreativitas bangsa dalam mengadopsi, menerjemahkan, menyerap, atau memberikan sentuhan-sentuhan baru terhadap bahasa resmi, kita perlu menjaga polusi lain yang merebak dan mengancam kelestarian bahasa tersebut. Mengikuti perkembangan zaman itu perlu, namun tentu dengan berpatokan pada kaidah-kaidah resmi.

Pemuda adalah penentu perkembangan dan kemunduran bahasa. Sebagai penerus peradaban, maka pemuda berpengaruh penuh pada segenap hal yang menyangkut konsekuensi itu. Menggunakan bahasa dengan baik dan benar-spesifiknya dalam ranah kepenulisan dan juga sebagian dalam percakapan-tentu lebih baik untuk mendukung kelestarian dan perkembangan bahasa persatuan tersebut.

Pemuda bertanggung jawab atas rusak dan berkembangnya bahasa persatuan itu. Dalam perkembangannya, pemuda juga berfungsi menciptakan filter untuk menjaga kaidah dan mengembangkan kebakuan sesuai konteks yang dibutuhkan. Karena bahasa akan selalu mengalami kemajuan dan pembaruan, sesuai dengan sifatnya yang elastis, maka menyaring untuk mendapatkan hasil terbaik adalah hal yang perlu sekali dilakukan oleh para muda sehingga kemudian bahasa Indonesia yang sudah memenuhi sejumlah syarat untuk menjadi bahasa ilmu itu bisa terus lestari dan berkembang dengan baik.

Maka, memulai dengan bangga berbahasa Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, menggunakan bahasa Indonesia untuk menerjemahkan buku-buku asing, memperbanyak padanan kata asing, mengembangkan bidang keilmuan dalam bahasa Indonesia, serta mengangkat bahasa Indonesia ke panggung dunia adalah hal awal yang perlu dilakukan para muda Indonesia sendiri. Tentu hal tersebut dilakukan dengan tanpa merusak bahasa dan dengan mengembangkannya sesuai patokan dan kaidah yang konvensional.


T. Dhenny Farial Pratama, ST
Cementing Engineer  -  COSL Indo
Wakil Ketua Umum  -  DPP APPI
Staff Kelautan & Masyarakat Pesisir  -  DPP AMPI
Mantan Aktifis Mahasiswa  -  Universitas Trisakti, Jakarta
 

Belajar Seperti Kartini

Raden Ajeng Kartini, lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Ia adalah anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari ELS (Europese Lagere School) setingkat Sekolah Dasar, ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya.

Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya). Membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya.

Ia mulai mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajar tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Di tengah kesibukannya, ia tidak berhenti membaca, tetapi ia juga menulis surat berkorespondensi dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Berkat kegigihannya, Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”.

Pemikiran Kartini
Dari biografi singkat di atas, kiranya sangat beralasan mengapa demikian pentingnya sosok yang melekat pada diri Kartini, sehingga pemerintah berkepentingan untuk menetapkakannya sebagai Pahlawan Nasional, dan hari kelahirannya perlu dikenang dan diperingati. Menurut hemat penulis, terdapat beberapa catatan penting yang dapat kita pelajari dari sosok kehidupan, perilaku dan pemikiran Kartini:

Pertama, patuh dan taat pada orang tua. Sebagimana disebutkan dalam biogarifinya, kendati keinginan untuk melanjutkan pendidikan setamat ELS (Europese Lagere School) setingkat Sekolah Dasar, namun karena adat istiadat yang berlaku waktu itu belum lazim dan orang tuanya pun tidak memperkenankan dirinya untuk melanjutkan sekolahnya, maka Kartini pun memilih untuk besikap patuh dan taat atas keputusan yang diambil orang tuanya, yaitu menetap di rumah alias tidak melanjutkan sekolah. Hal ini mencerminkan pada kita, meski harus mengorbankan keinginan yang menggebu untuk melanjutkan pendidikannya, namun karena keputusan orang tuanya, Kartini lebih memilih sikap patuh dan taat kepada orang tuanya, artinya ia tidak ingin mendurhakai orang tuanya;

Kedua, pantang menyerah dan gigih berusaha dalam mengagapi cita-cita. Sejarah membuktikan, kendati berada dalam pingitan dan tidak melanjutkan pendidikan ke sekolah formal, namun gelora hati Kartini untuk terus belajar tidak terhenti, cita-citanya untuk memajukan diri dan kaumnya (kaum perempuan) terus diupayakan melalui cara-cara yang dapat ia lakukan. Di antaranya dengan bertanya kepada ayahnya (RM Sosroningrat) dan berkorespondensi dengan teman-temannya di Belanda, terutama sekali dengan Mr JH Abendanon.

Sebagai seorang penulis dan pemikir, Kartini adalah sosok yang memiliki intelektualitas dengan kemampuannya mengemukakan gagasan-gagasan cemerlang seputar masalah sosial, pendidikan dan gender yang tidak cukup popular di zamannya. Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), adalah judul buku dari kumpulan surat-surat RA Kartini untuk sahabat penanya Stella di Belanda yang dirilis pada 1911, begitu fenomenal dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia;

Ketiga, visioner (memiliki pandangan jauh ke depan). Dari hasil bacaan dan korespondensinya, muncul gagasan Kartini bahwa kehidupan kaum wanita harus maju sejajar dengan kaum pria. Untuk itu, maka kaum wanita pun harus belajar, tidak hanya mengurusi rumah tangga (dapur, kasur, dan sumur). Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa dan timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, yang waktu itu tergolong berada dalam status sosial yang rendah;

Keempat, memiliki kepedulian sosial. Ketidaksempatan Kartini untuk meneruskan belajarnya secara formal, termasuk kesempatan beasiswa yang tidak sempat dinikmatinya, ternyata tidak membuat sosok Kartini putus asa atau pun berdiam diri. Kartini lebih memilih berkompensasi melampiaskan cita-cita dan harapannya dengan bentuk yang positif dan konstruktif demi kemajuan kaumnya. Ia kumpulkan kaum perempuan di rumahnya. Ia ajari mereka membaca dan menulis. Ia berikan mereka ilmu pengetahuan, keterampilan dan wawasan;

Kelima, memiliki kepedulian terhadap kehidupan religius (Agama Islam). Hal ini jarang dicuatkan dalam sejarah, bahwa ternyata sosok Kartini adalah orang yang peduli pada masalah keagamaan (Islam) yang diyakininya. Padahal, dalam kehidupannya, Kartini adalah sosok yang peduli dengan ajaran agama Islam, hal ini terungkap dalam biografinya: “Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai. Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini juga menulis; “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah. (Teguh Setiawan, Republika, 1 April 2012).

Sebagai pelajaran

Penulis percaya, bahwa masih banyak lagi sisi-sisi lain dari kehidupan Kartini yang dapat kita petik sebagai pelajaran. Yang perlu dicatat adalah, bahwa dengan membaca dan menelusuri riwayat kehidupan, gagasan, pandangan, pemikiran, dan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh Kartini, maka wajarlah bila ia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Karena kepeloporan dan ketokohannya memang layak untuk diteladani, untuk dijadikan contoh/teladan.

Kartini adalah tokoh emansipasi, motivator dan inspirator bagi kaum wanita khususnya, dan bagi kita semua pada umumnya. Banyak hal yang dapat kita petik sebagai pelajaran dari Kartini. Namun, keberhasilan perjuangan RA Kartini dalam menegakkan hak kaum wanita Indonesia, pada kenyataan yang ada saat ini justru terbilang menyedihkan. Sebab kesuksesan yang telah diraih malah menjadikan sebagian besar wanita meninggalkan adat sebagaimana yang dicontohkan Kartini.

Lalu, masih adakah Kartini zaman sekarang? Tanggal 21 April yang dideru-derukan sebagai hari Kartini tentu bukan sekedar peringatan. Banyak harapan yang digantungkan pada para wanita lewat peringatan tersebut. Tetapi jika menilik jiwa Kartini pada zaman dulu dan ‘Kartini’ yang ada pada zaman sekarang, jelas telah memiliki perbedaan yang sangat kontras. Baik itu dalam hal gaya, karakter terlebih pada kepribadian.

Minggu, 06 Mei 2012

Sekularisme

SEKULARISME di kamus bahasa Indonesia artinya paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada agama. Tapi pengertian yang paling populer adalah paham pemisahan antara agama dan negara. Paham ini semakin populer dan semakin sering terucap oleh orang kita sekarang. Demikian juga kata-kata ini semakin menakutkan karena sering dituduh kepada orang-orang yang tidak disenangi.

Bila kita perhatikan secara seksama yang sering menuduh orang lain sekuler, sebenarnya dia sendiri melakukan hal yang sama. Kita ambil contoh, orang-orang yang tidak mau memberi sedekah karena hanya untuk pembangunan jalan atau rumah sakit karena dianggap itu urusan negara, bukan urusan agama. Orang tidak mau peduli dengan ilmu ekonomi atau tidak mau menganalisis perkembangan ekonomi umatnya karena itu masalah duniawi. Dalam aktivitas sehari-hari masih ada yang dianggap sebagai melaksanakan perintah Allah dan ada perintah dari negara.

Sebenarnya kekhawatiran akan terjerumus ke sekularisme itu bagus, cuma sayangnya pengertian sekularisme itu tidak utuh dipahami. Akibatnya mudah menuduh orang sembarangan. Padahal yang lebih penting lagi diperhatikan adalah sekularisme yang telah berkembang dalam kehidupan praktis yang awalnya berkembang di Barat dan sekarang sudah menjalar ke negeri-negeri muslim.

Sejarah terjadinya sekularisasi dalam kehidupan praktis di Barat sebenarnya belum begitu lama. Seperti kenyataan sekarang, selain telah terjadi kekosongan jamaah gereja, telah terjadi pula budaya seks bebas. Sampai tahun 1940-an masyarakat Barat masih menjaga moral yang berstandar agamanya. Gereja-gereja juga masih dipenuhi oleh jamaahnya. Kaum perempuan masih diwajibkan oleh orang tuanya memakai baju longdress. Belum ada yang berpacaran lalu berpeluk-pelukan bahkan berciuman di jalan.

Sejak terjadinya mobilitas masyarakat secara besar-besaran dari desa ke kota-kota terutama sekali untuk kegiatan bisnis dan juga sejumlah generasi muda yang melanjutkan studi ke kota-kota besar mulailah terjadi perubahan besar-besaran pada budaya mereka. Generasi muda yang kurang terdidik agama di desanya dan sampai di kota tidak ada pengawasan orang tua. Terjadilah tindakan-tindakan pergaulan yang tidak terikat dengan norma agama. Awalnya pergaulan bebas itu hanya sekadar keinginan memuaskan pergaulan sesama anak muda saja. Ketika agama dan budaya tidak bicara lagi masalah pergaulan bebas tersebut, lalu diambil peluang oleh para pebisnis menjadi komoditi perdagangan yang menarik. Bahkan selanjutnya budaya seperti itulah yang dibanggakan oleh masyarakat. Sehingga jika sekarang misalnya kita mengkritik mereka mengenai tari telanjang, mereka merasa heran. Karena tidak ada yang janggal menurut mereka. Tari telanjang juga dianggap salah satu seni yang dimiliki oleh manusia.

Demikian juga masalah hubungan laki-laki dan perempuan sebelum menikah. Mereka hampir menganggap itu wajib, karena untuk melihat apakah comfortable atau tidak  pasangannya. Mereka sangat khawatir setelah menikah akan terjadi ketidakcocokan bidang seks diantara mereka. Bahkan setelah menikah mereka masih saling menanyakan di antara teman mereka apakah mereka cukup puas dalam bidang seks dengan pasangannya.

Dalam masalah perkawinan ini sedikit pun tidak ada lagi campur tangan masalah agama, kecuali sebagian kecil saja yang ingin menikah di gereja. Mereka mencari pasangan sendiri dan kemudian berjanji bersama bagaimana mereka sepakati termasuk masalah warisan. Demikian juga dengan keturunan mereka. Kendatipun kita saksikan begitu banyak tokoh-tokoh sukses atau tokoh yang di kagumi, tetapi dibalik kehebatan itu begitu banyak anak muda yang rusak dan telantar karena faktor hubungan orang tua yang tidak terikat dengan norma agama dan budaya lagi.

Kenyataan seperti ini bukan tidak mungkin akan terjadi di negeri kita. Seperti diberitakan oleh surat kabar-surat kabar selama ini berbagai hal negatif telah menimpa para remaja dan anak muda di kota-kota kita, di Indonesia. Mulai dari kurang hormat terhadap orang tua, terhadap guru, ngebut-ngebutan di jalan, tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, cabut sekolah sampai pada terlibat narkoba dan mesum. Peristiwa yang terakhir yang sempat mengejutkan kita semua adalah peristiwa menukar aqidah. Sejumlah generasi muda, mulai dari anak yang masih SMU sampai mahasiswa telah terpengaruh dengan ajaran Millata Abraham yang menurut kajian MUI tergolong ajaran sesat.

Kenyataan seperti ini andaikata tidak diantisipasi segera dengan cara yang permanen akan dapat mengakibatkan kota-kota di Indonesia, akan menjadi kota umat yang sesat dan penuh dekadensi moral. Apa yang dapat kita tunjukkan kalau generasi muda kita terdiri dari orang-orang sesat dan penuh dengan dekadensi moral?

Generasi muda adalah generasi penerus bangsa, generasi yang akan memimpin dunia selanjutnya. Jika kita mampu menanamkan aqidah Agama secara baik yang dapat memperkuat aqidah generasi muda kita, maka kita telah berusaha untuk menjaga generasi yang kuat dan tangguh pendirian. Mereka akan menjadi generasi yang tahan dari gempuran yang datang dari mana pun. Mereka akan menjadi generasi penyelamat umat dari godaan ajaran sesat.



T. Dhenny Farial Pratama, ST
Cementing Engineer  -  COSL Indo
Wakil Ketua Umum  -  DPP APPI
Staff Kelautan & Masyarakat Pesisir  -  DPP AMPI
Mantan Aktifis Mahasiswa  -  Universitas Trisakti, Jakarta

Harapan Rakyat Aceh - Serambi Indonesia

Harapan Rakyat Aceh - Serambi Indonesia

Sabtu, 05 Mei 2012

Renungan Kehidupan



Seorang pria setengah baya mendatangi seorang guru ngaji, “Ustad, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati.”
Sang Ustad pun tersenyum, “Oh, kamu sakit.”
“Tidak Ustad, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”


Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Ustad meneruskan, “Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan.”


Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit. Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal berumah-tangga,bentrokan-bentrokan kecil itu memang wajar, lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.


“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku.” demikian ujar sang Ustad.


“Tidak Ustad, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup.” pria itu menolak tawaran sang Ustad.


“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?”


“Ya, memang saya sudah bosan hidup.”


“Baik, besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.”


Giliran dia menjadi bingung. Setiap Ustad yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup. Yang satu ini aneh. Ia bahkan menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.


Pulang kerumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh Ustad edan itu. Dan, ia merasakan ketenangan sebagaimana tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.


Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran masakan Jepang. Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai banget! Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan membisiki di kupingnya, “Sayang, aku mencintaimu.” Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!


Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir,ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali, “Mas, apa yang terjadi hari ini? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, mas.”


Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, “Hari ini, Bos kita kok aneh ya?”


Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.


Pulang kerumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, “Mas, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu.” Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu stres karena perilaku kami semua.”


Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?


” Ya Allah, apakah maut akan datang kepadaku. Tundalah kematian itu ya Allah. Aku takut sekali jika aku harus meninggalkan dunia ini ”.


Ia pun buru-buru mendatangi sang Ustad yang telah memberi racun kepadanya. Sesampainya dirumah ustad tersebut, pria itu langsung mengatakan bahwa ia akan membatalkan kematiannya. Karena ia takut sekali jika ia harus kembali kehilangan semua hal yang telah membuat dia menjadi hidup kembali.


Melihat wajah pria itu, rupanya sang Ustad langsung mengetahui apa yang telah terjadi, sang ustad pun berkata “Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh, Apa bila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan.”


Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Ustad, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Ah, indahnya dunia ini……